Dalam berinteraksi dengan Al qur'an, umat Islam saat ini berada di antara
4 situasi :
Pertama,
tersebutlah dalam sebuah cerita
bahwa sepasang suami isteri dari sebuah desa berangkat ke Makkah untuk
menunaikan ibadah haji. Mereka tahu, bahwa mutu emas di tanah Arab itu sangat
tinggi serta harganya pun relatif lebih murah. Untuk itu, mereka pun sepakat
untuk membeli kalung dan seperangkat perhiasan lainnya. Sekembali ke kampungnya,
mereka menyimpang emas-emas tersebut dalam sebuah laci yang indah dan dikunci
rapat-rapat. Mereka melakukannya karena menganggap bahwa emas tersebut adalah
sesuatu yang berharga, memiliki nilai besar (value) sehingga perlu dijaga
dengan disimpan di tempat yang aman. Akhirnya, emas tersebut tidak pernah
dipakai atau dinikmati sebagai perhiasan yang berharga karena kekhawatiran akan
menurunkan nilai atau value dari emas yang dilikinya.
Kedua,
sepasang suami isteri dari kampung
lain melancong ke kota New York, kota metropolitan, kotanya dunia. Setiba di
New York, mereka mencari tempat untuk menyewa mobil. Setelah deal selesai, sang
penyewa meminta sebuah "map" (peta) kota New York. Mereka sadar,
sebagai musafir yang asing (stranger traveler) mereka memerlukan peta agar
tidak tersesat dalam perjalanan di kota yang baru bagi mereka. Sayangnya,
selama perjalanan peta (map) tersebut hanya dipegang, minimal dilihat tapi
tidak difahami secara serius petunjuk-petunjuknya. Akhirnya, mereka berjalan
dan berjalan, namun tujuan yang ingin dicapainya tidak pernah dicapainya.
Bahkan mereka berjalan ke arah yang sesat, terperangkap dalam sebuah rimba yang
penuh binatan buas.
Ketiga,
seorang pemuda kampung datang ke kota. Setiba di kota, sang pemuda diajak
ke pantai oleh seorang temannya yang kebetulan penyelam. Sesampai di pantai
tersebut, sang pemuda pertama kali menemukan kotoran-kotoran, sampah-sampah dan
hanya pasir-pasir dan batu-batuan. Terbetiklah dalam benak pemuda kampung,
betapa bodohnya pemuda kota yang selalu menyelam di lautan yang hanya penuh
kotoran dan sampah tersebut. Sang pemuda kampung tidak sadar, betapa dalam
lautan tersembunyi mutiara dan berbagai benda berharga lainnya. Sayangnya, sang
pemuda hanya mampu melihat pinggiran lautan yang tidak terpelihara secara baik
sehingga penuh dengan kotoran dan sampah dan tidak mampu menangkap berbagai
rahasia keindahandi dalamnya.
Keempat,
Seorang pensiunan hansip dari sebuah kampung terpencil pergi melancong ke
kota London. Selama menjadi hansip, dia selalu taat dengan aturan-aturan yang
selama ini dihafalnya, termasuk menghafal lafaz pancasila dan pembukaan uud
45-nya. Sebagai law obedient person, dia sudah bertekad untuk tidak melakukan
lagi hal-hal lain yang di luar hafalannya. Setiba di London, sang hansip diperhadapkan
kepada aturan-aturan baru yang selama ini belum ada di pemikirannya. Maka, ia
menolak untuk mentaati kota London karena menurutnya, aturan-aturan tersebut
tidak sesuai dengannya yang selama ini difahaminya.
Sahabat,
Kira-kira begitulah sekarang ini. Kita dalam berinteraksi dengan Al Qur'an
berada pada posisi di atas, atau minimal berada pada salah satu kelompok
manusia as sebagaimana digambarkan di atas :
Pertama,
kita sadar bahwa Al Qur'an itu sangat berharga, memiliki nilai yang
sangat tinggi. Al Qur'an itu kita hargai dan cintai. Namun pernghargaan dan
kecintaan kita terhadap Al Qur'an, ibarat kecintaan dan penghargaan seorang
haji terhadap emasnya. Kita membeli Al Qur'an yang paling fancy, yang paling
mahal dan paling indah. Sayangnya, Al Qur'an hanya dijadikan perhiasan yang
tersimpan di dalam laci, dikunci karena dianggap suci. Al Qur'an justeru karena
keyakinan kesuciannya, jarang tersentuh. Paling tidak, hanya disentuh disaat
akan membaca Yaasiin, karena mungkin seseorang di antara anggota keluarga ada
yang sakit keras (sakarat) atau mungkin karena seseorang meninggal dunia.
Kedua,
kita sadar bahwa kita semua adalah
musafir menuju peristirahatan akhir. Kita berjalan menuju alam kekal. Dan di
dalam perjalanan ini, kita membutuhkan peta (map), petunjuk jalan agar kita
tidak tersesat. Dengan peta, kita minimal akan mudah menemukan jalan yang
terefektif dan aman. Jika tidak, maka mungkin saja, kita tersesat ke dalam
hutan rimba yang penuh srigala dan binatan buas lainnya. Dunia ini adalah
ganas. Dunia ini penuh dengan perangkap dan tipu muslihat. Kalaulah dalam
perjalanan ini, kita tidak cermat mencari jalan aman, sesuai dengan petunjuk
jalan yang baku, maka kita dapat terjatuh dalam perangkap dan tipu muslihat
duniawi. Sayangnya, peta atau petunjuk jalan tersebut, hanya dipegang dan tidak
dipelajari, atau minimal dibaca tapi tidak difahami. Sehingga rasanya,
perjalanan kita serba semrawut tidak terarah, karena peta yang kita miliki
hanya justeru menjadi beban dalam perjalanan.
Ketiga,
kurangnya keimanan dan keilmuan
kita, menjadikan kita kadang tergesa-gesa mengambil sebuah kesimpulan keliru
terhadap Al Qur'an. Arogansi manusia tidak jarang berkata, Al Qur;an itu hanya
penuh dengan beban-beban ajaran yang menghambat kemajuan hidup atau kehidupan
yang dinamis. Al Qur'an menghambat kemajuan dunia. Al Qur'an telah usang. Al
Qur'an hanya akan semakin menghambat kehidupan yang modern. Ibarat pemuda
kampungan yang diajakn jalan ke pinggir pantai pertama kali. Padahal, Al Qur'an
adalah lautan yang tak akan pernah habis terselami. Di dalamnya tersimpan
segala sesuatu yang berharga. Di dalamnya ada emas, mutiara dan berbagai barang
mulia dengan valuenya yang sangat tinggi. Sayang otak kampungan menganggapnya
justeru hanya “hambatan” kemajuan kehidupan yang dianggap modern.
Keempat,
pada semua negeri ada aturan. Aturan adalah sebuah keniscayaan. Negeri
tanpa aturan tak lebih dari sebuah negeri dari kumpulan hewan-hewan. Manusia
yang hidup dalam sebuah negeri, tanpa ingin diatur oleh sebuah aturan, mereka
tak lebih dari hewan-hewan yang berbentuk manusia. Kita hidup di negerinya
Allah. Kita menumpang mencari makan, sedang melancong (musafir) dalam
negeriNya. Maka, akankah diterima sebagai sebuah kewajaran, di saat kita
mengatakan bahwa aturan Al Qur'an tak bisa diterima karena "aku"
sendiri sudah punya aturan? Jika tetap berpendirian demikian, silahkan cari
negeri, silahkan cari dunia, di mana anda dapat mengklaim sebagai dunia yang
Tuhan tidak perlu campur tangan. Ciptakanlah dunia baru anda, yang di dalamnya
Tuhan memang tidak perlu campur tangan. Selama anda masih ada di planet
sekarang, planet yang anda merasa belum pernah menciptakannya sendiri, jangan
coba-coba berprilaku “kuno” menganggap punya aturan-aturan sendiri. Karena di mana
pun anda pergi, setiap pemilik negeri akan membuat aturannya sendiri. Dan dunia
seluruhnya (al’aalamiin) adalah negeriNya Allah. Untuk itu, adalah sangat tidak
masuk akal dan tidak realisits, jika anda menolak aturan Allah SWT.
sahabat,
Lalu di manakah saya, anda dan kita semua? Masih masih-masing kita
melakukan introspeksi. Buka akal dan hati, hancurkan keegoan yang selalu
angkuh.
Sumber : anonym (sudah ada di komputerku sejak baru)