Sabtu, 23 Juni 2012

Teknik Pembuatan Pestisida Organik (Seri Pertanian)

Bahan - Bahan :
1.    2 Kg Gadung
2.    1 Kg tembakau semprul
3.    2 ons Terasi
4.    ¼ Kg Dringo
5.    25 cm brotowali
6.    2  liter air
7.    1 Sendok makan minyak kelapa

Peralatan :
1.    Saringan (kain tipis)
2.    Ember plastik
3.    Nampan Plastik
4.    Alat tumbuk /Parut
5.    Sarung tangan

Cara Membuat :
1.    Minyak kelapa dioleskan pada kulit tangan dan kaki
2.    Gadung dikupas kulitnya lalu ditumbuk / diparut
3.    Tembakau digodog (direndam dengan air mendidih 2 liter
4.    Dringo dan brotowali ditumbuk/parut lalu direndam dengan air mendiddih ½ liter
5.    Terasi direndam dengan air mendidih ½ liter
6.    Tembakau dringo dan terasi direndam 24 jam, kemudian melakukan penyaringan satu persatu dan dijadikan satu tempat (wadah) sehingga hasil perasan ramuan tersebut menjadi 3 liter larutan, masukkan perasan gadung dan brotowali
7.    Ramuan siap diaplikasikan

Kegunaan :
1.    Dapat menekan populasi serangan hama dan penyakit tanaman
2.    Dapat menolak hama dan penyakit
3.    Sebagai makanan tambahan bagi musuh alami

Hama yang dikendalikan:
1.    Wereng Batang Coklat
2.    Lembing Batu
3.    Ulat grayak
4.    Ulat hama putih Palsu
5.    Kutu Daun (Aphis)

Dosis :
1 Gelas  pestisida alami ditambah 2 liter air

Catatan
1.  Resep ini bisa di tambah dengan bahan lain (pahitan) sesuai dengan kondisi di lahan
2. Sebaiknya petani melakukan inovasi baru dalam membuat ramuan yang disesuaikan dengan hama-penyakit yang menggangg tanaman

Senin, 18 Juni 2012

Rasulullah SAW dan Pengemis Buta


Di sudut pasar Madinah Al-Munawarah seorang pengemis Yahudi buta hari demi hari apabila ada orang yang mendekatinya ia selalu berkata :

 “Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya.”

Namun setiap pagi Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad. Rasulullah SAW melakukannya hingga menjelang Rasulullah SAW wafat. Setelah kewafatan Rasulullah tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu.

Suatu hari Abu Bakar ra. berkunjung ke rumah anaknya Aisyah ra (salah satu istri Rasulullah SAW). Beliau bertanya kepada anaknya, “Anakku adakah sunnah kekasihku (Muhammad) yang belum aku kerjakan?”. Aisyah ra menjawab pertanyaan ayahnya,

“Wahai Ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja”. “Apakah itu?”, tanya Abu Bakar ra.

 “Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana”, kata Aisyah ra.

 Keesokan harinya Abu Bakar ra pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu. Abu Bakar ra. mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepadanya.

Sebagaimana kita ketahui bersama Abu Bakar ra adalah sebagai Amirul Mu’minin (Khalifah/Raja/Presiden seluruh ummat Islam pada waktu itu.

Ketika Abu Bakar ra mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak, “Siapakah kamu?”.

Abu Bakar ra. menjawab, “Aku orang yang biasa”. “Bukan, engkau bukan orang yang biasa mendatangiku”, jawab si pengemis buta itu, “Ketika ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku dengan lembut”, pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abu Bakar ra. tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, “Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu, aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW.”

Setelah pengemis itu mendengar cerita Abu Bakar ra. ia pun ikut menangis, kemudian berkata, “Benarkah demikian ?, selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia…”

Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya mengucapkan “Asyhadu An-Laa Ilâha Illallâh Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullâh..” dihadapan Abu Bakar ra.

Minggu, 03 Juni 2012

Kita dan Al Qur'an

Dalam berinteraksi dengan Al qur'an, umat Islam saat ini berada di antara 4 situasi :

Pertama,
tersebutlah dalam sebuah cerita bahwa sepasang suami isteri dari sebuah desa berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Mereka tahu, bahwa mutu emas di tanah Arab itu sangat tinggi serta harganya pun relatif lebih murah. Untuk itu, mereka pun sepakat untuk membeli kalung dan seperangkat perhiasan lainnya. Sekembali ke kampungnya, mereka menyimpang emas-emas tersebut dalam sebuah laci yang indah dan dikunci rapat-rapat. Mereka melakukannya karena menganggap bahwa emas tersebut adalah sesuatu yang berharga, memiliki nilai besar (value) sehingga perlu dijaga dengan disimpan di tempat yang aman. Akhirnya, emas tersebut tidak pernah dipakai atau dinikmati sebagai perhiasan yang berharga karena kekhawatiran akan menurunkan nilai atau value dari emas yang dilikinya.

Kedua,
sepasang suami isteri dari kampung lain melancong ke kota New York, kota metropolitan, kotanya dunia. Setiba di New York, mereka mencari tempat untuk menyewa mobil. Setelah deal selesai, sang penyewa meminta sebuah "map" (peta) kota New York. Mereka sadar, sebagai musafir yang asing (stranger traveler) mereka memerlukan peta agar tidak tersesat dalam perjalanan di kota yang baru bagi mereka. Sayangnya, selama perjalanan peta (map) tersebut hanya dipegang, minimal dilihat tapi tidak difahami secara serius petunjuk-petunjuknya. Akhirnya, mereka berjalan dan berjalan, namun tujuan yang ingin dicapainya tidak pernah dicapainya. Bahkan mereka berjalan ke arah yang sesat, terperangkap dalam sebuah rimba yang penuh binatan buas.

Ketiga,
seorang pemuda kampung datang ke kota. Setiba di kota, sang pemuda diajak ke pantai oleh seorang temannya yang kebetulan penyelam. Sesampai di pantai tersebut, sang pemuda pertama kali menemukan kotoran-kotoran, sampah-sampah dan hanya pasir-pasir dan batu-batuan. Terbetiklah dalam benak pemuda kampung, betapa bodohnya pemuda kota yang selalu menyelam di lautan yang hanya penuh kotoran dan sampah tersebut. Sang pemuda kampung tidak sadar, betapa dalam lautan tersembunyi mutiara dan berbagai benda berharga lainnya. Sayangnya, sang pemuda hanya mampu melihat pinggiran lautan yang tidak terpelihara secara baik sehingga penuh dengan kotoran dan sampah dan tidak mampu menangkap berbagai rahasia keindahandi dalamnya.

Keempat,
Seorang pensiunan hansip dari sebuah kampung terpencil pergi melancong ke kota London. Selama menjadi hansip, dia selalu taat dengan aturan-aturan yang selama ini dihafalnya, termasuk menghafal lafaz pancasila dan pembukaan uud 45-nya. Sebagai law obedient person, dia sudah bertekad untuk tidak melakukan lagi hal-hal lain yang di luar hafalannya. Setiba di London, sang hansip diperhadapkan kepada aturan-aturan baru yang selama ini belum ada di pemikirannya. Maka, ia menolak untuk mentaati kota London karena menurutnya, aturan-aturan tersebut tidak sesuai dengannya yang selama ini difahaminya.

Sahabat,

Kira-kira begitulah sekarang ini. Kita dalam berinteraksi dengan Al Qur'an berada pada posisi di atas, atau minimal berada pada salah satu kelompok manusia as sebagaimana digambarkan di atas :

Pertama,
kita sadar bahwa Al Qur'an itu sangat berharga, memiliki nilai yang sangat tinggi. Al Qur'an itu kita hargai dan cintai. Namun pernghargaan dan kecintaan kita terhadap Al Qur'an, ibarat kecintaan dan penghargaan seorang haji terhadap emasnya. Kita membeli Al Qur'an yang paling fancy, yang paling mahal dan paling indah. Sayangnya, Al Qur'an hanya dijadikan perhiasan yang tersimpan di dalam laci, dikunci karena dianggap suci. Al Qur'an justeru karena keyakinan kesuciannya, jarang tersentuh. Paling tidak, hanya disentuh disaat akan membaca Yaasiin, karena mungkin seseorang di antara anggota keluarga ada yang sakit keras (sakarat) atau mungkin karena seseorang meninggal dunia.

Kedua,
 kita sadar bahwa kita semua adalah musafir menuju peristirahatan akhir. Kita berjalan menuju alam kekal. Dan di dalam perjalanan ini, kita membutuhkan peta (map), petunjuk jalan agar kita tidak tersesat. Dengan peta, kita minimal akan mudah menemukan jalan yang terefektif dan aman. Jika tidak, maka mungkin saja, kita tersesat ke dalam hutan rimba yang penuh srigala dan binatan buas lainnya. Dunia ini adalah ganas. Dunia ini penuh dengan perangkap dan tipu muslihat. Kalaulah dalam perjalanan ini, kita tidak cermat mencari jalan aman, sesuai dengan petunjuk jalan yang baku, maka kita dapat terjatuh dalam perangkap dan tipu muslihat duniawi. Sayangnya, peta atau petunjuk jalan tersebut, hanya dipegang dan tidak dipelajari, atau minimal dibaca tapi tidak difahami. Sehingga rasanya, perjalanan kita serba semrawut tidak terarah, karena peta yang kita miliki hanya justeru menjadi beban dalam perjalanan.

Ketiga,
kurangnya keimanan dan keilmuan kita, menjadikan kita kadang tergesa-gesa mengambil sebuah kesimpulan keliru terhadap Al Qur'an. Arogansi manusia tidak jarang berkata, Al Qur;an itu hanya penuh dengan beban-beban ajaran yang menghambat kemajuan hidup atau kehidupan yang dinamis. Al Qur'an menghambat kemajuan dunia. Al Qur'an telah usang. Al Qur'an hanya akan semakin menghambat kehidupan yang modern. Ibarat pemuda kampungan yang diajakn jalan ke pinggir pantai pertama kali. Padahal, Al Qur'an adalah lautan yang tak akan pernah habis terselami. Di dalamnya tersimpan segala sesuatu yang berharga. Di dalamnya ada emas, mutiara dan berbagai barang mulia dengan valuenya yang sangat tinggi. Sayang otak kampungan menganggapnya justeru hanya “hambatan” kemajuan kehidupan yang dianggap modern.

Keempat,
pada semua negeri ada aturan. Aturan adalah sebuah keniscayaan. Negeri tanpa aturan tak lebih dari sebuah negeri dari kumpulan hewan-hewan. Manusia yang hidup dalam sebuah negeri, tanpa ingin diatur oleh sebuah aturan, mereka tak lebih dari hewan-hewan yang berbentuk manusia. Kita hidup di negerinya Allah. Kita menumpang mencari makan, sedang melancong (musafir) dalam negeriNya. Maka, akankah diterima sebagai sebuah kewajaran, di saat kita mengatakan bahwa aturan Al Qur'an tak bisa diterima karena "aku" sendiri sudah punya aturan? Jika tetap berpendirian demikian, silahkan cari negeri, silahkan cari dunia, di mana anda dapat mengklaim sebagai dunia yang Tuhan tidak perlu campur tangan. Ciptakanlah dunia baru anda, yang di dalamnya Tuhan memang tidak perlu campur tangan. Selama anda masih ada di planet sekarang, planet yang anda merasa belum pernah menciptakannya sendiri, jangan coba-coba berprilaku “kuno” menganggap punya aturan-aturan sendiri. Karena di mana pun anda pergi, setiap pemilik negeri akan membuat aturannya sendiri. Dan dunia seluruhnya (al’aalamiin) adalah negeriNya Allah. Untuk itu, adalah sangat tidak masuk akal dan tidak realisits, jika anda menolak aturan Allah SWT.

sahabat,
Lalu di manakah saya, anda dan kita semua? Masih masih-masing kita melakukan introspeksi. Buka akal dan hati, hancurkan keegoan yang selalu angkuh.

Sumber : anonym (sudah ada di komputerku sejak baru)

Ternyata kita orang kaya …

Aku sering memandangi rumahku berlama-lama. Kadang dari  dekat, kadang dari kejauhan. Bukan untuk menganggumi  keindahannya, karena rumahku kecil saja, berantakan pula.  Tapi semua tentang rumahku, aku menyukainya. Karena memandang rumahku, aku jadi memandang diriku  sendiri dan kekayaanku. Sebagai diriku, ia menggambarkan  betul watakku, kebaikanku dan keburukanku.

Rumah itu serba  gelap, tak pernah kucat, tak pernah kurampungkan secara  semestinya, dan banyak ketidaksempurnaan di sana-sini. Ada lantai yang tidak rata, ada lantai dari marmer perca,  ada tembok yang tidak simetris, ada tanaman-tanaman yang  tidak rapi, dan penuh kesalahan tata ruang di sana-sini. 
Rumah ini benar-benar bukan hasil karya seni, tapi hasil  spekulasi. Spekulasi dari realitas hidup yang cuma bisa  kujalankan dengan cara merambat. Setindak demi setindak.  Dan rumahku adalah dari tindak demi tindak itu. Bukan sebuah kesatuan. Makanya di banyak sudut cuma berisi  kesalahan. Tapi begitulah hidupku, lengkap dengan keslahan yang  kuperbuat, adalah kenyataan yang menggembirakan hatiku.  Hidup, lengkap dengan kesalahan, sungguh merupakan  kesempurnaan. Maka memandangi keslahan itu setiap kali,  sungguh sebuah kegembiraan. Padahal di dalam rumahku, tidak cuma ada  kesalahan-kesalahan hidupku, tapi juga ada anak istriku.
Di dalam rumah itulah aku dan keluarga tumbuh, menyejarah  dan menjalani hidup ini dengan segenap cobaan dan  berkah-berkahnya. Memandang anak-anak tertidur, sering  melelehkan air mataku. Mulia sekali rasanya kualitasku  saat itu, saat terharu seperti itu. Tapi begitu anak-anak  itu terbangun, mengobrak-abrik apa saja, membuat  kegaduhan, menjadi anak-anak yang menjengkelkan, betapa  terlihat kualitas kelakuanku.
Aku ternyata tak lebih  bapak-bapak kebanyakan, yang gampang didikte oleh  kemarahan jika kenyamanan dirinya terganggu. Aku jelas bukan orang kaya. Tapi semua simbol-simbol orang  kaya telah kulengkapi hampir secara keseluruhan. Butuh apa  saja, di rumahku ada, sepanjang kebutuhan itu seperti  kebutuhanku. Mau makan apa saja yang menjadi kesukaanku  tersedia: pisang goreng, kacang rebus hingga jadah bakar.  Istriku telah pintar membuatnya. Mau jajan apa saja terlaksana karena di depan rumah  mangkir tanpa henti jajanan kelilingan.
Ada yang generik  model mi ayam, mi kopyok, siomay, ada pula yang baru dan  aneh-aneh seperti telur grandong dan upil macan, jenis  makanan yang tak hendak aku jelaskan di sini karena  anehnya. Ada pula jajanan kuno yang masih sesekali bisa  ditemui seperti arum manis dan gulali. Di rumahku juga tersedia kolam renang meskipun bukan untuk  manusia, melainkan untuk renang ikan-ikan. Ikan pun bukan  louhan dan arwana tapi cukup jenis spat dan mujahir yang  tak perlu dirawat pun lama hidupnya. Mau mendengar semua  aksi kicau burung piaraan juga ada sepanjang ia adalah  jenis tekukur, kutilang dan puter.
Aku juga memelihara  burung di sela-sela atap rumahku. Mau bersantai dan menghibur diri juga tak perlu bingung. Televisiku, meskipun kecil dan kuno, masih kuat menyala  sehari-semalaman. Mau nonton konser apa saja, film apa  saja, dialog apa saja, semua ada. Mau sekadar mendengar  musik, malah cukup mendengarkan tetangga yang biasa  menyetel tape dengan kerasnya. Aku kaget sendiri ketika di rumahku semuanya ada. Ternyata  kaya sekali aku karena kekayaan itu ada di kepalaku  sendiri. Jika kamu memiliki tingkat kebutuhan sepertiku,  dan memiliki aset sepertiku, marilah kita merasa menjadi  orang kaya bersama-sama.

Sumber : anonym (dari judul asli Merenung Sampai Mati)

Sabtu, 02 Juni 2012

Emas dan Permata

Di Mesir hiduplah seorang sufi tersohor bernama Zun-Nun.
Seorang pemuda mendatanginya dan bertanya, “Guru, saya tak mengerti mengapa orang seperti anda mesti berpakaian apa adanya, amat sangat sederhana. Bukankah di masa seperti ini berpakaian sebaik-baiknya amat perlu, bukan hanya untuk penampilan namun juga untuk banyak tujuan lain.”

Sang sufi hanya tersenyum; ia lalu melepaskan cincin dari salah satu jarinya, lalu berkata, “Sobat muda, akan kujawab pertanyaanmu, tetapi lebih dahulu lakukan satu hal untukku. Ambillah cincin ini dan bawalah ke pasar di seberang sana. Bisakah kamu menjualnya seharga satu keping emas?” Melihat cincin Zun-Nun yang kotor, pemuda tadi merasa ragu, “Satu keping emas? Saya tidak yakin cincin ini bisa dijual seharga itu.”
“Cobalah dulu, sobat muda. Siapa tahu kamu berhasil.”

Pemuda itu pun bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada pedagang kain, pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada yang lainnya. Ternyata, tak seorang pun berani membeli seharga satu keping emas. Mereka menawarnya hanya satu keping perak. Tentu saja, pemuda itu tak berani menjualnya dengan harga satu keping perak. Ia kembali ke padepokan Zun-Nun dan melapor, “Guru, tak seorang pun berani menawar lebih dari satu keping perak.”

Zun-Nun, sambil tetap tersenyum arif, berkata, “Sekarang pergilah kamu ke toko emas di belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik toko atau tukang emas di sana. Jangan buka harga, dengarkan saja bagaimana ia memberikan penilaian.”
Pemuda itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud. Ia kembali kepada Zun-Nun dengan raut wajah yang lain. Ia kemudian melapor, “Guru, ternyata para pedagang di pasar tidak tahu nilai sesungguhnya dari cincin ini. Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu keping emas. Rupanya nilai cincin ini seribu kali lebih tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang di pasar.”

Zun-Nun tersenyum simpul sambil berujar lirih, “Itulah jawaban atas pertanyaanmu tadi sobat muda. Seseorang tak bisa dinilai dari pakaiannya. Hanya “para pedagang sayur, ikan dan daging di pasar” yang menilai demikian. Namun tidak bagi ‘pedagang emas’. Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai jika kita mampu melihat ke kedalaman jiwa. Diperlukan kearifan untuk menjenguknya. Dan itu butuh proses wahai sobat mudaku. Kita tak bisa menilainya hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas. Seringkali yang disangka emas ternyata loyang dan yang kita lihat sebagai loyang ternyata emas.”

Sumber : Nuzhatu l-majalis (Komunitas Tahajud)

MOL (Seri Pertanian)

MOL dari Sabut Kelapa

Resep MOL ini istimewa dibandingkan dengan resep-resep MOL yang lain, karena konon MOL ini kaya akan unsur K. Bahan dan cara pembuatannya juga sangat mudah zekali.

Bahan-bahan

1.Sabut Kelapa
2.Air bersih

Cara pembuatan

1. Masukkan sabut kelapa ke dalam drum. Jangan penuh-penuh.
2. Masukkan air sampai semua sabut kelapa terendam air.
3. Drum ditutup dan dibiarkan selama dua minggu.
4. Air yang sudah berwarna coklat kehitaman digunakan sebagai MOL.

Selain sabut kelapa bisa juga ditambahkan dengan jerami kering. Penambahan jerami bisa bermanfaat sebagai pestisida nabati.

Pemakaian

MOL bisa disiramkan atau disemprotkan ke tanaman. Cara pemakaian sama seperti MOL-MOL yang lain.

MOL Buah-buahan

Buah-buahan busuk yang sudah tidak bisa dimakan lagi bisa dimanfaatkan untuk sebagai MOL (Mikro Organisme Lokal). MOL yang dibuat dari buah-buahan busuk ini bisa digunakan untuk pengomposan maupun untuk disemprotkan ke tanaman. Cara pembuatannya sangat mudah dengan menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitar kita.

Bahan-bahan

1. Buah-buahan yang sudah busuk. Bisa buah apa saja: pepaya, pisang, mangga, apel, salak, dll. Sebanyak 5 kg
2. Air kelapa 10 butir.
3. Gula jawa 1 kg.

Cara Pembuatan
1. Limbah buah-buahan dihaluskan. Bisa dengan cara ditumbuk atau diparut.
2. Masukkan ke dalam dalam tempat (drum)
3. Tambahkan air kelapa.
4. Tambahkan gula.
5. Semua bahan diaduk sampai tercampur merata.
6. Tutup drum dengan penutu. Beri lubang untuk aerasi. Lubang aerasi ini bisa menggunakan selang agar tidak dimasukki oleh lalat atau serangga lain.
7. Semua bahan kemudian difermentasi selama 2 minggu sebelum digunakan.

Penggunaan

MOL ini bisa digunakan untuk pengomposan maupun untuk penyemprotan ke tanaman.
Untuk pengomposan: encerkan larutan fermentasi sebayak 5 kali-nya. Kemudian disemprotkan ke bahan-bahan yang akan dikomposkan.
Untuk penyemprotan tanaman: larutkan larutan fermentasi sebanyak 30 kali. Penyemprotan dilakukan pada pagi hari atau sore hari ke permukaan daun. Penyemprotan dilakukan berselang 2 minggu.

Cara Membuat Bakteri Penghancur Sampah Organik dari Kulit Pisang

Kulit pisang kalau kita lihat sepintas memang tidak berguna sama sekali dan sering dibuang ketempat sampah atau sebagai makanan tambahan bagi ternak kambing atau domba namun dilain pihak ada yang memanfaatkan kulit pisang sebagai bakteri penghancur atau dekomposter sampah organik dimana kulit pisang di tumbuk sampai halus ditambahkan sedikit gula pasir dan dilarutkan dalam 1 atau 2 liter air matang dan di buat dalam botol bekas air mineral dan jangan lupa setiap 6 jam tutup botol dibuka dan ditutup kembali.

Sumber : http://isroi.wordpress.com

Menahan Amarah


''Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.'' (Ali-Imron: 133-134).

Amarah merupakan tabiat manusia yang sulit untuk dikendalikan. Dan, Allah menjadikan orang yang mampu untuk menahan amarahnya sebagai salah satu ciri orang yang bertakwa. Di samping itu Allah akan memberikan pahala kepada orang yang menahan amarahnya lalu memaafkan mereka yang menyakitinya. Allah berfirman, ''Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.'' (Asy-Syuura: 40).

Abu hurairah meriwayatkan bahwa pada suatu hari, seorang lelaki mendatangi Rasulullah SAW. Ia berkata kepada beliau. Ya Rasulullah! Nasihatilah saya! Sabdanya, ''Janganlah engkau marah.'' Lalu beliau ulangkan beberapa kali, dan sabdanya, ''Jangan engkau marah.'' (HR Bukhori).

Penekanan Rasulullah SAW di atas menunjukkan betapa pentingnya menahan amarah. Karena ia adalah penyebab terjadinya pertikaian, perpecahan, dan permusuhan. Dan bila ini terjadi, maka akan membawa dampak negatif kepada umat Islam. Oleh sebab itu pula, Islam tidak membenarkan seorang Muslim untuk saling bertikai dan saling berpaling satu sama lain melebihi dari tiga malam.

Sahabat Abu Bakar ra pernah mendapatkan teguran dari Allah SWT karena kemarahan yang dilakukannya dengan bersumpah untuk tidak memberi apa-apa kepada kerabatnya ataupun orang lain yang terlibat dalam menyiarkan berita bohong tentang diri Aisyah. Allah berfirman, ''Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat-(nya).

Betapa indahnya dunia ini, jika setiap orang berusaha menahan amarahnya. Pertikaian, kerusuhan, permusuhan di mana-mana tidak akan terjadi. Karena kejahatan yang dibalas dengan kejahatan tidaklah memberikan solusi, namun menambah persoalan dan memperpanjang perselisihan.



Sumber : Nasher Akbar (Republika)