Minggu, 03 Juni 2012

Ternyata kita orang kaya …

Aku sering memandangi rumahku berlama-lama. Kadang dari  dekat, kadang dari kejauhan. Bukan untuk menganggumi  keindahannya, karena rumahku kecil saja, berantakan pula.  Tapi semua tentang rumahku, aku menyukainya. Karena memandang rumahku, aku jadi memandang diriku  sendiri dan kekayaanku. Sebagai diriku, ia menggambarkan  betul watakku, kebaikanku dan keburukanku.

Rumah itu serba  gelap, tak pernah kucat, tak pernah kurampungkan secara  semestinya, dan banyak ketidaksempurnaan di sana-sini. Ada lantai yang tidak rata, ada lantai dari marmer perca,  ada tembok yang tidak simetris, ada tanaman-tanaman yang  tidak rapi, dan penuh kesalahan tata ruang di sana-sini. 
Rumah ini benar-benar bukan hasil karya seni, tapi hasil  spekulasi. Spekulasi dari realitas hidup yang cuma bisa  kujalankan dengan cara merambat. Setindak demi setindak.  Dan rumahku adalah dari tindak demi tindak itu. Bukan sebuah kesatuan. Makanya di banyak sudut cuma berisi  kesalahan. Tapi begitulah hidupku, lengkap dengan keslahan yang  kuperbuat, adalah kenyataan yang menggembirakan hatiku.  Hidup, lengkap dengan kesalahan, sungguh merupakan  kesempurnaan. Maka memandangi keslahan itu setiap kali,  sungguh sebuah kegembiraan. Padahal di dalam rumahku, tidak cuma ada  kesalahan-kesalahan hidupku, tapi juga ada anak istriku.
Di dalam rumah itulah aku dan keluarga tumbuh, menyejarah  dan menjalani hidup ini dengan segenap cobaan dan  berkah-berkahnya. Memandang anak-anak tertidur, sering  melelehkan air mataku. Mulia sekali rasanya kualitasku  saat itu, saat terharu seperti itu. Tapi begitu anak-anak  itu terbangun, mengobrak-abrik apa saja, membuat  kegaduhan, menjadi anak-anak yang menjengkelkan, betapa  terlihat kualitas kelakuanku.
Aku ternyata tak lebih  bapak-bapak kebanyakan, yang gampang didikte oleh  kemarahan jika kenyamanan dirinya terganggu. Aku jelas bukan orang kaya. Tapi semua simbol-simbol orang  kaya telah kulengkapi hampir secara keseluruhan. Butuh apa  saja, di rumahku ada, sepanjang kebutuhan itu seperti  kebutuhanku. Mau makan apa saja yang menjadi kesukaanku  tersedia: pisang goreng, kacang rebus hingga jadah bakar.  Istriku telah pintar membuatnya. Mau jajan apa saja terlaksana karena di depan rumah  mangkir tanpa henti jajanan kelilingan.
Ada yang generik  model mi ayam, mi kopyok, siomay, ada pula yang baru dan  aneh-aneh seperti telur grandong dan upil macan, jenis  makanan yang tak hendak aku jelaskan di sini karena  anehnya. Ada pula jajanan kuno yang masih sesekali bisa  ditemui seperti arum manis dan gulali. Di rumahku juga tersedia kolam renang meskipun bukan untuk  manusia, melainkan untuk renang ikan-ikan. Ikan pun bukan  louhan dan arwana tapi cukup jenis spat dan mujahir yang  tak perlu dirawat pun lama hidupnya. Mau mendengar semua  aksi kicau burung piaraan juga ada sepanjang ia adalah  jenis tekukur, kutilang dan puter.
Aku juga memelihara  burung di sela-sela atap rumahku. Mau bersantai dan menghibur diri juga tak perlu bingung. Televisiku, meskipun kecil dan kuno, masih kuat menyala  sehari-semalaman. Mau nonton konser apa saja, film apa  saja, dialog apa saja, semua ada. Mau sekadar mendengar  musik, malah cukup mendengarkan tetangga yang biasa  menyetel tape dengan kerasnya. Aku kaget sendiri ketika di rumahku semuanya ada. Ternyata  kaya sekali aku karena kekayaan itu ada di kepalaku  sendiri. Jika kamu memiliki tingkat kebutuhan sepertiku,  dan memiliki aset sepertiku, marilah kita merasa menjadi  orang kaya bersama-sama.

Sumber : anonym (dari judul asli Merenung Sampai Mati)

0 komentar: